♥ DuniaRihma ♥

♥ DuniaRihma ♥
♥ DuniaRihma ♥

Kamis, 07 April 2011

Tepukan Di Bahu


Oleh, Nobuo Sakurai

Hari itu, Nami dan Yuka berada di ruang musik saat matahari hampir terbenam. Kursi-kursi lipat tersusun di sudut ruangan. Yang ada di tengah ruangan dari papan itu hanyalah dua buah kursi dan not musik.
                Yuka duduk di kanan dan Nami di kiri. Mereka sedang berlatih khusus memainkan flute. Sebentar lagi akan ada pertunjukan Drumband, tetapi mereka belum mahir memainkan bagian mereka.
                Di antara lagu-lagu yang akan diperdengarkan nanti, ada bagian dimana mereka harus berdiri sementara alat musik yang lain diam. Pada waktu latihan bersama, beberapa kali guru menghentikan tongkatnya pada bagian mereka.
                “Bapak tahu, kalian bersungguh-sungguh. Tapi ada yang kurang. Ini bukan cuma membuat bunyi, tapi harus benar-benar dari  perasaan kalian. Coba satukan perasaaan kalian!” begitu kata pak guru.
                Karena merasa tak enak dengan yang lain, mereka latiha khusus berdua saja. Pak guru yang menemani latihan meninggalkan mereka karena beliau ada keperluan. Beliau berkata bahwa akan kembali lagi nanti.
                “Aku bodoh…,” keluh Nami
                “Aku yang bodoh,” jawab Yuka
                Sebelumnya Nami dan Yuka belum pernah mengenal alat musik ini. Mereka berdua masuk kelompok musik setelah melihat iklan di TV. Suatu kali pemain flute terkenal, Yumi Yagama, mengadakan pertunjukan di TV. Permainannya sangat bagus sehingga mereka pun ingin menjadi seperti dia.
                Setengah tahun setelah mereka bergabung, pak guru mengakui ketekunan mereka.
                Ada bagian penting dimana mereka berdua harus tampil sementara alat-alat musik yang lain diam. Sedikit saja ada ketidakcocokan, pasti akan segera kedengaran.
                Berkali-kali mereka mengulang bagian tersebut. Mulai dari bagian awal lagu, tetapi begitu tiba pada bagian itu Nami tergelincir. Diulang lagi. Begitu seterusnya.
                “Maaf! Kalau nggak ada arahan pak guru, aku selalu terlambat.” Nami duduk dikursinya sejenak. Lalu katanya, “Kursi ini agak aneh.”
                “Eh, itu ‘kan kursi pak guru. Aku tahu, karena kelihatan sudah tua. Ganti saja!” kata Yuka.
                “Nggak apa-apa! Biar saja.”
                Kali ini mengalun nada yang kompak. Mengalir. Setelah selesai, Nami merasa seperti ada yang menepuk bahu kirinya seolah-olah berkata, “Ya, seperti itu!” Tetapi Yuka ‘kan ada di sebelah kanannya. Tak mungkin tangannya bisa sampai ke bahu kiri Nami. Lho?
                “Yang tadi bagus, ‘kan!” kata Yuka sambil tersenyum.
                “Oke, sekali lagi!” jawab Nami. Dia tak memikirkan lagi tepukan di bahunya tadi.
                Yuka berlari menyalakan lampu. Ruangan yang tadinya suram, berubah menjadi terang. Lalu mereka mengulang lagi dari awal. Lalu tiba pada saat mereka harus berdiri. Nami menoleh kebelakang. Brak! Kursi terjatuh.
                Nada jadi terputus.
                “Nami, kenapa?”
                “Maaf!” Dengan gemetar Nami memegang tangan Yuka, lalu berbicara dengan terputus-putus.
                “Tadi, ada yang… menepuk bahuku… bahu kiriku.”
                “Tapi Nami, yang ada disini hanya kita berdua. Nggak ada orang lain,” jawab Yuka sambil memandang ke sekeliling.
                “Betul. Sebelumnya juga begitu, tapi kupikir hanya perasaanku saja, jadi aku nggak bilang. Betul, aku nggak bohong. Ada orang yang nggak terlihat disini.”
                Tangan Yuka ikut gemetar. Lalu dia menjerit, “HIIIIIIIIY!”
                Mereka berpelukan, lalu berlari ke koridor. Setelah menarik napas, mereka kemudian mengintip ruang musik.
                “Bagaimana ini?”
                “Pak guru belum kembali…”
                Sekalipun ruangan itu terang dan kosong mereka tetap tak berani masuk.
                “Kita tunggu diluar sampai pak guru datang.”
                Mereka berjongkok di koridor. Dalam keadaan seperti ini, berada di koridor terasa menakutkan. Untuk mengalihkan pikiran, mereka bercakap-cakap. Sekalipun demikian, rasa takut masih belum juga hilang. Mereka menunggu dan menunggu, pak guru seharusnya sudah kembali.
                “Mari kita tanyakan!” Yuka berdiri. Nami ikut berdiri.
                Dengan berpegangan tangan, mereka berlari di koridor menuju ke ruang guru. Mereka mengintip di pintu. Seorang guru piket sedang berbicara di telepon.
                Begitu meletakkan gagang telepon, beliau menoleh kebelakang dan segera menyadari keberadaan Nami dan Yuka. “Kemarilah!” panggilnya, “Itu tadi telepon dari guru kalian. Beliau kecelakaan.”
                “Eh?”
                “Tadi, kira-kira jam setengah enam. Waktu akan kembali ke sekolah, di perempatan bank itu mobilnya ditabrak truk. Sekarang beliau ada di rumah sakit.
                “Pak guru tidak apa-apa?”
                “Pingsan sebentar, tapi segera sadar kembali, jadi mungkin tidak parah. Beliau dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Lukanya akan diobati dan kepalanya akan diperiksa. Karena mengkhawatirkan kalian, makanya beliau menelpon.”
                Nami dan Yuka menelan ludah. Nami melirik jam dinding. Hampir pukul 6. Jika kecelakaan itu terjadi pada pukul setengah enam… Nami dan Yuka saling berpandangan. Mereka punya pikiran yang sama.
                Ketika seseorang yang tak terlihat menepuk bahu Nami, ketika kursi pak guru terjatuh, pada saat itukah…?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar