♥ DuniaRihma ♥

♥ DuniaRihma ♥
♥ DuniaRihma ♥

Kamis, 07 April 2011

Jendela Yang Tak Bisa Dibuka


Oleh, Setsuko Watanabe

Di kelas 3-A ada satu jendela yang tak bisa dibuka. Jendela itu disegel dengan papan dari lantai atas sampai ke langit-langit. Padahal letaknya menghadap ke halaman dan mendapat sinar matahari yang baik.

                Kira-kira 3 bulan yang lalu, timbul kehebohan. Saat itu cuaca cerah di musim gugur.
                Jam keenam adalah pelajaran Bahasa Inggris. Karena sudah hampir waktunya pulang, murid-murid merasa bosan. Karena sudah tak sabar lagi, waktu guru sedang meghadap ke papan tulis, ada anak-anak yang menghadap ke luar. Tiba-tiba, “Hah?” tiba-tiba terdengar sebuah sebuah suara.
                “Ada apa?” pak guru menoleh kea rah anak-anak yang sedang memandang keluar.
                “I…I… itu!” Itu saja yang mereka katakan. Akhirnya, seorang anak menunjuk ke sebuah jendela, “Eri, si Eri!”
                “Eri? Eri Tachikawa yang tidak masuk hari ini? Kenapa dia?”
                “Tadi, jatuh di luar jendela.”
                “Apa katamu?”
                “Be… Betul. Matanya melotot. Mukanya kuyu, matanya terbuka lebar, mulutnya menganga.”
                “Yamamoto, coba lihat ke bawah!” kata pak guru. Anak laki-laki yang duduk di dekat jendela itu bangkit lalu melongokkan kepalanya.
                “Ada!”

                Kelas pun gempar. Ambulans segera dipanggil, namun Eri sudah tida tertolong lagi. Dia jatuh dari atap. Bunuh diri. Tak ada yang tahu penyebabnya. Dia tidak meninggalkan surat. Juga tidak sedang patah hati atau menderita penyakit dan nilainya pun lumayan.
                Tetapi anak-anak perempuan sepertinya memahaminya.
                “Kadang hidup memang membosankan.”
                “Ya… ya. Bukan apa-apa, sih, tapi sudah muak saja.”
                “Nggak ada lagi yang menarik.”
                “begitulah. Di saat seperti itu, rasanya semuanya sia-sia.”
                “Betul, betul.”
                “Tapi kalau aku, sih, pilih cara yang lebih enak. Jatuh begitu ‘kan menakutkan. Kakiku nggak mungkin bisa maju.”

                Memang betul begitu. Eri pun pasti sangat ketakutan. Seorang anak yang melihat Eri waktu itu, keesokan harinya tidak masuk sekolah karena demam. Terbayang di matanya wajah Eri yang ketakutan.

                Beberrapa hari berlalu, kelas pun tenang kembali. Namun pada suatu hari, pada hari yang cerah, entah pada pelajaran apa, tetapi yang jelas pada siang hari, Midori memandang keluar tanpa mendengarkan pembicaraan guru. Tiba-tiba, “Hiiiiiiiiiiiy!” teriaknya. Karena terkejut, semua menoleh ke arahnya. Midori menutup muka dengan kedua tangannya dan melungkupkannya di atas meja.

                “kenapa? Kenapa?” berkali-kali guru bertanya. Akhirnya, Midori mengangkat kepalanya. Mukanya pucat pasi.
                “Eri, Eri!”
                “Eri? Kenapa Eri?”
                “Jatuh, diluar jendela itu. Meloto ke sini.”
                “Mana mungkin. Belum lama ini ‘kan kalian datang ke upacara pemakamannya.”
                “Tapi betul, memang betul.”
                Guru melongok ke bawah dari tepi jendela. “Tak ada apa-apa. Perasaanmu saja. Karena tidak menyimak, kamu jadi melihat yang aneh-aneh.”

                Hari itu, selesai sampai di situ.
                Ternyata… peristiwa itu berkelanjutan. Makin banyak yang mengatakan telah melihat. Selalu pada hari yang cerah, walau pada jam yang berbeda-beda. Tidak selalu pada jam keenam seperti waktu itu. Ada yang pada saat jam kelima, ada yang sebelum jam istirahat siang, ada juga yang pada jam pertama.

                Selalu dengan wajah tegang, mata dan mulut terbuka lebar, serta rambut panjang yang tergerai. Lima orang, sepuluh orang, banyak yang sudah melihatnya, sampai-sampai tidak ada lagi yang berani memandang ke luar pada saat hari sedang cerah. Karena mereka tidak tahu berapa kali itu akan terjadi dari pagi sampai siang.

                Namun tak mungkin terus menerus menatap ke papan tulis. Ada kalanya, secara kebetulan kita menoleh keluar. Pada saat itulah, dia jatuh lagi diluar jendela tersebut. Seperti biasa, terdengar jeritan dan kelas pun menjadi gaduh. Akhirnya, guru pun menyaksikannya sendiri.

                Pasti sebelum melompat, Eri pun merasa ragu. Saat akan melompat dan melangkahkan satu kakinya ke depan, hatinya menolak. Karena ngeri, dia terekam sejenak. Begitu sadar, satu kakinya menginjak atap, kedua tangannya memegang ujung tembok. Masih hidup! Diangkat tubuhnya, lalu jongkok termenung disudut atap. Beberapa waktu berlalu, dicobanya sekali lagi. Lagi-lagi, tangannya memegang ujung tembok dan tubuhnya masih berada di atas atap. Dicobanya berkali-kali, rasa takut terus mencekamnya. Mungkin itulah sebabnya mengapa setelah tewas pun arwah nya masih terus terjatuh berulang kali. Kasihan sekali si Eri….

                Setelah jendela disegel dengen papan, kami jadi agak tenang. Namun apa daya…, Akhirnya aku pun melihatnya. Hari ini sangat cerah. Karena ada papan, tanpa khawatir aku mengarahkan pandangan ke luar. Ketika itulah dengan wajah tegang dan rambutnya tergerai, Eri jatuh lewat di depan papan itu! Matanya membelalak, matanya yang masih hidup itu, memandangku.
                Semiga aku cepat lulus dan meninggalkan kelas ini…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar