♥ DuniaRihma ♥

♥ DuniaRihma ♥
♥ DuniaRihma ♥

Kamis, 07 April 2011

Rumah Kucing


Oleh, Hiroshi Nakamura

                Waktu siang, suasana di sekolah hiruk pikuk, penuh dengan teriakan anak-anak, bunyi alat musik dan lagu dari ruang musik, dan hiruk pikuk di lapangan olahraga dan sebagainya.
                Sebaliknya, bila anak-anak sudah pulang, sekolah mendadak menjadi sepi, dan bila malam tiba, tak ada bunyi apapun di gedung yang besar itu. Pernahkah kalian di sekolah pada saat seperti itu? Cukup menakutkan. Ada bunyi sedikit saja, bulu kuduk langsung merinding. Kita akan berpikir, apakah itu pencuri?

                Jika kita membaca Koran-koran zaman dahulu, ada berita yang memuat cerita tentang keberanian guru yang sedang jaga malam menangkap pencuri yang menyusup ke sekolah. Sekolah sekarang tidak begitu lagi. Sekarang, guru tak perlu lagi bermalam di sekolah, kalau pun ada, kepala sekolah akan berpesan,
                “Kalau terjadi sesuatu, lari saja! Nyawa lebih penting. Lagipula, pencuri-pencuri sekarang lebih jahat….”

                Dulu, sekolah adalah bangunan kayu tua. Jadi, kalau ada angin, kertas-kertas di atas meja di ruang guru akan bertebaran. Dan bila malam tiba, tikus-tikus mengerat di atas loteng, menimbulkan bunyi-bunyi yang tak terdengar pada siang hari.

                Nah, di sudut halaman sekolah ini, ada pohon keyaki dan pohon kusunoki besar yang tumbuh entah sejak kapan. Di sekitar situ, siang hari pun tampak suram. Di sebelah barat ada pohon sugu Himalaya yang tinggi, dan di sekeliling halaman ada pohon-pohon kecil yang ditanam oleh lulusan sekolah ini.
                Pada tahun 1940 terjadi peristiwa aneh di ruang jaga yang terletak di bawah kerimbunan pohon keyaki ini.

                Saat itu saya bermalam di sekolah karena mendapat tugas jaga.
                Tengah malam, suara-suara yang tak terdengar pada siang hari, seperti perkutut, akan terdengar di ruang jaga yang sepi. Saya terbangun mendengar suara yang memilukan itu dan tak dapat memejamkan mata kembali. Juga terdengar bunyi kepakan sayap. Mungkin ada burung gagak yang membuat sarang di atas pohon sugi.

                Lalu, entah darimana asalnya, terdengar suara kucing mengeong-ngeong. Saya berpikir, apakah ada kucing-kucing buangan di sekitar sekolah ini?  Suara itu bukan hanya berasal dari satu atau dua ekor kucing, dan makin lama terdengar makin bertambah, “meong, meong…, meong…,meong…”

                Karena sangat ribut, saya ingin mengusirnya. Dengan sekuat tenaga, saya siramkan seember air dari jendela ruang jaga kea rah datang nya suara itu. Tenang sejenak, lalu terdengar lagi suara yang lebih gaduh daripada sebelumnya.

                Tiba-tiba, saya jadi takut mendengar suara-suara itu. Jika saya berbuat lebih jauh lagi, jangan-jangan mereka pun akan melakukan sesuatu terhadap saya. Karenanya, saya menarik selimut dan diam tak bergeming.

                Paginya, saya lihat tempat yang saya siram semalam. Ada sebuah batu nisan tua di balik pohon keyaki besar yang berbatasan dengan sekolah Putri di sebelah. Di situ tertulis, “Bukit Kucing”.

                Ketika saya ceritakan hal ini di ruang guru, seorang guru yang telah lama mengajar di sekolah ini bercerita kepada saya.
                “Dulu, di sini ada sebuah rumah tuan tanah. Di rumah itu ada seekor kucing yang sangat disayangi oleh putri tuan tanah. Kucing itu menjadi besar, dan memangsa setiap orang yang mengganggu tuan putri, bagaikan kucing jadi-jadian. Akhirnya kucing itu dibunuh dan tempatnya dikubur disebut “Bukit Kucing”. Ketika sekolah ini dibangun, Bukit Kucing itu hampir dipindahkan, tetapi karena ada kutukan yang menyebabkan pekerja menjadi sakit atau luka, Bukit kucing itu dibiarkan begitu saja. Tengah malam, kucing-kucing dari sekitar sekolah ini berkumpul mengelilinginya, bukan?”

                Cepat-cepat saya pergi ke Bukit Kucing dan mengatupkan kedua tangan saya. Di sekeliling batu nisan tua di bawah pohon besar yang sangat lebat tampak begitu banyak jejak telapak
kaki kucing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar