♥ DuniaRihma ♥

♥ DuniaRihma ♥
♥ DuniaRihma ♥

Kamis, 07 April 2011

Festival Tanabata

Oleh, Shoko Mochizuki

                Miyuki yang ingin menjadi murid sekolah musik bersahabat akrab dengan Taeko yang dikenalnya saat ujian masuk perguruan tinggi. Keduanya tampak ceria mengelilingi kampus. Sekolah ini terletak di sebuah bukit kecil yang diselimuti oleh hijaunya hutan dan rerumputan.

                Di antara pepohonan terdapat sebuah gedung sekolah modern bertegel, aula, asrama siswa, dan sebagainya. Dan seperti sekolah musik pada umumnya, di sana-sini terdapat patung Bach, Mozart, dan yang lainnya.

                “Keren…! Bagaikan di taman saja!”
                “Benar, kebun cemara ini, seperti di film asing.”
                Namun, ada yang agak anek. Pada lingkungan bersuasana barat itu ada lentera-lentera batu.
                “Eh, itu salah nggak sih?”
                “Iya, memang aneh. Di sampan Bach ada lentera batu…”
                “pati ada sebabnya.”
                Tak lama kemudian, dari cerita para senior, mereka tahu penyebabnya.
                Begini ceritanya.

                Ketika perang Pasifik hampir berakhir, serangan udara tentara Amerika terjadi di daratan Jepang, terutama kota besar seperti Tokyo, yang tiap hari dijatuhi bom sehingga banyak yang meninggal.
                Karenanya, anak-anak SD yang sudah besar, dipindahkan ke balai rakyat atau kuil desa, hidup terpisah dengan keluarga, untuk menghindari serangan udara. Mereka disebut kelompok Evakuasi.
                Di sekitar sini yang dekat dengan Tokyo pun banyak anak-anak dari kelompok evakuasi. Walaupun begitu, tempat yang seharusnya terhindar dari serangan udara ini yang dijatuhi bom.
                Hidup dalam kesepian membuat mereka dekat satu sama lain. Bahkan ada yang tewas dalam keadaan saling berpelukan. Dengan sekali serangan saja, banyak orang dewasa yang tewas. Ada juga anak-anak yang menjadi mayat tanpa diketahui identitasnya.
                Karena itu, ketika ibu mereka datang untuk mencari anaknya yang sudah meninggal, di antara mereka ada yang tak tahu yang mana anaknya. Selain itu banyak anak-anak yang jadi sebatang kara karena seluruh keluarganya tewas.
                Di antara anak-anak yang tewas itu, ada juga anak yang tak di ambil oleh keluarganya karena seluruh keluarganya pun telah tewas akibat serangan udara di Tokyo.
                Setelah lama berlalu, didirikan sekolah di bekas tempat tewasnya anak-anak itu. Ketika tanahnya digali, ditemukan kerangka-kerangka mereka.
                Karena itulah maka dipasang lentera dan dibacakan doa di tempat-tempat kerangka itu ditemukan.

                “Tapi, sekarang pun, kalau tengah malam ketika kita ke kamar mandi asrama, ada anak yang berlumuran darah di situ.”
                “Saat itu, semuanya kurus karena tak ada makanan. Bukan hanya karena serangan udara, banyak juga yang meninggal karena sakit.”
                “Kasihan sekali mereka…”
                Kadang-kadang, Miyuki dan yang lainnya merasa pilu melihat lentera-lentera itu.

                Kemudian, tibalah saat perayaan Festival Tanabata.
                Hari itu, di kebun belakang gedung utama berderet warung-warung yang dibuka oleh para siwa. Orang-orang yang tinggal di kota juga berdatangan.
                Saat orchestra dan paduan suara diperdengarkan, tampak makin banyak sosok anak-anak yang bertempat tinggal di dekat situ.
                Ketika senja mulai tiba, suara penjual memanggil pembeli terdengar makin kuat.
                Miyuki yang bertugas menjual es permen seharga 50 yen per batang di bawah pohon cemara.

                Namun, saat tarian bon odori , tarian yang dilakukan saat festival musim panas, akan dimulai, dia sudah merasa lelah karena tak biasa mengenakan Yukata , kimono musim panas, dan geta ,sandal khas Jepang mirip bakiak.
                “Menarinya nanti saja. Aku mau istirahat dulu.” Miyuki duduk di kursi dan melepas geta nya.
                “Aku juga mau istirahat”, kata Taeko yang menjual topeng.
                Miyuki, yang memainkan geta-nya mengikuti bon odori, tiba-tiba menoleh ke belakang karena merasa ada orang di belakangnya.
                Seorang anak perempuan kira-kira kelas 3 SD tampak sedang memperhatikan kotak esnya.
                “Eh, mau ini ya? Satu 50 yen!” kata Miyuki. Tetapi anak itu malah lari menjauh.
                “Anak tadi aneh, ya!” bisik Taeko.
                “Iya, ya!”
                Mereka mendatangi arah larinya anak itu. Di sana-sini tampak anak-anak dengan potongan rambut yang sama.
                “Eh, lihat! Semuanya pakai celana dan rok yang agak lain. Geta-nya juga lusuh. kamu merasa aneh nggak, sih?”
                “Iya, ada banyak anak-anak, tapi mereka saja yang kurus. Kelihatan ada yang berbeda. Mereka datang dari mana, ya?”
                “Di sana juga ada. Eh, anak laki-laki…?”
                “Betul. Ah, anak itu, terluka!”
                Jika diperhatikan, samar-samar tampak beberapa orang anak di sekeliling lentera batu.
                “Heh, di sana juga!”
                Anak-anak di hutan, yang mereka temukan itu, tiba-tiba lenyap dari pandangan.
                “Lho, anak-anak itu…?”
                Anak-anak di lapangan, yang tampak aneh tadi, juga menghilang.
                “Anak-anak itu…”
                “Yang tewas karena serangan udara..!!”
                Mereka berdua hanya mampu berdiri terpaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar