♥ DuniaRihma ♥

♥ DuniaRihma ♥
♥ DuniaRihma ♥

Kamis, 07 April 2011

Tempat Terkutuk


Oleh, Isamu Shibuya

                Di suatu daerah di Tokyo, kira-kira 15-16 tahun yang lalu di bangun sebuah SD di tengah rumpun pepohonan hijau. Di bagian selatan halaman sekolah ini terdapat sebuah rumah besar beratap jerami yang sudah miring.

                Saat mendengar adanya pembangunan sekolah, pemilik rumah itu menjual rumahnya kepada Pemda. Sejak saat itu, tak ada lagi yang menempatinya. Pihak Pemda berencana menjadikannya sebagai lapangan olahraga sekolah.

                Tetapi entah mengapa, rumah itu tidak dirobohkan, hanya diterpa angin dan hujan.
                Anak-anak menyebutnya sebagai “rumah terkutuk”. Mereka tak berani mendekat ke lapangan di sampingnya.

                Pada pertandingan olahraga, di halaman sekolah ditarik garis putih, dan berdasarkan tingkatan kelas, mereka dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu merah, putih, biru, dan kuning.
                Kelompok yang memunggungi rumah terkutuk ini selalu tertinggal, bahkan sangat sial.
                Seorang wartawan menanyakan hal ini kepada nenek-nenek disekitar situ.
                “Ya…., jauh sebelum saya lahir, dulu…. Sekali, wanita yang tinggal di rumah itu, menyiksa nenek mertuanya sampai mati. Tak diberi makan, di tengah musim dingin, disiramnya dengan air, dipukulnya dengan bambu…”
                “tengah malam, terdengar tangisan nenek itu, “tolong, tolong!” Saya pun pernah beberapa kali pernah mendengarnya.”
                Mereka menceritakannya sambil merengutkan alis sepertinya hal itu terjadi pada diri mereka sendiri.

                Saat pembangunan sekolah, dikerahkan mesin-mesin penghancur seperti bulldozer, untuk merobohkan rumah itu, tetapi mesin-mesin itu selalu rusak, pengemudinya terluka tanpa sebab, sehingga pengerjaan pun jadi terhenti.
                Hal seperti itu terjadi berulang-ulang.
                “Jika rumah itu dirobohkan, akan terjadi kutukan.”
                “Bisa kena dendam nenek yang dibunuh itu.”
                Mendengarnya, tak ada lagi yang berani meneruskan pekerjaannya.
                Akhirnya, petugas dari balai kota pun memutuskan, “Biarkan saja rumah itu roboh dengan sendirinya.”

                Sampai sekarang pun, jika kita lewat di sampingnya pada tengah malam saat hujan gerimis, terdengar suara tangis nenek itu, “tolong…,tolong…!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar