♥ DuniaRihma ♥

♥ DuniaRihma ♥
♥ DuniaRihma ♥

Kamis, 07 April 2011

Sumur Tua

Oleh, Masao kogure
                Cerita ini terjadi di sekolah dasar K di provinsi Saitama terletak kira-kira 40 menit perjalan kereta dari Tokyo.
                Peristiwa serupa terjadi di tempat-tempat yang letaknya 30-40 menit dari pusat kota. Begitu juga di kota S, yang dalam beberapa tahun belakangan ini penduduknya terus bertambah. Penduduk yang semula berkisar 70.000 jiwa, sekarang membengkak menjadi 130.000 jiwa.

                Seiring dengan pesatnya pertambahan penduduk, timbul masalah di sana-sini. Salah satunya adalah kekurangan kelas di SD dan SMP.
                Di SD K di kota S pun dibangun gedung baru di samping gedung yang lama.
                Pembangunannya diserahkan kepada Kontraktor U yang sudah punya nama, tetapi entah mengapa, secara beruntun banyak yang mendapat luka. Ada pekerja yang jatuh dari tangga, ada yang jarinya hancur terjepit mesin, ada yang nyaris buta karena matanya terkena ujung pahat yang terjatuh, ada yang tersangkut kabel pengangkut beton, dan berbagai kecelakaan terjadi secara terus-menerus.

                Karena banyaknya kecelakaan yang terjadi dalam waktu singkat, pemborong diberi peringatan oleh dinas pengawasan kota sekalipun mereka telah mengikuti asuransi tenaga kerja. Namun tak dapat dibiarkan begitu saja, karena hal ini sangat berhubungan dengan kepercayaan kerja.

                “Walau hanya penambahan kelas, untuk memulai pembangunan, diadakan upacara pembersihan tanah. Tetapi, ini sepertinya ada kutukan….”
                Pimpinan Kontraktor merasa bahwa ada penyebab bencana di lokasi itu. Kepada para pekerja dia bertanya apakah ada di antara mereka yang lulusan sekolah itu. Jika ada, apakah orang itu ingat sesuatu yang dapat dianggap sebagai penyebab bencana.
                Pak Kudo, seorang pekerja berusia 50-an yang bertugas memasang kusen dan kaca, kemudian bercerita,

                “Kalaupun sekarang ini ada kutukan, pastilah yang itu. Saya lulusan tahun 1954. Sesaat sebelum upacara kelulusan, gedung sekolah musnah dilalap api yang berasal dari ruang makan, tepat saat bertiupnya angin kencang.”
                “Yang Bapak maksud?”
                “Yang saya ingat, hanya itu. Belakangan ada macam-macam cerita, tapi yang pasti, wakil kepala sekolah memang meninggal.”
                “Malam itu, untuk menahan dingin, guru yang bertugas jaga malam terus berada di ruang jaga. Akibatnya, dia terlambat menyadari terjadinya kebakaran.”
                “Guru itu berhasil menyelamatkan diri dan hanya menderita luka bakar ringan. Yang disesalkan adalah wakil kepala sekolah. Rumahnya kira-kira 1 km dari sekolah, beliau segera datang dengan bersepeda tanpa mengganti piyamanya. Tapi sekolah sudah jadi lautan api. Sekalipun begitu, beliau tetap bermaksud terjun ke dalam kobaran api untuk menyelamatkan berkas-berkas di ruang kepala sekolah. Namun beliau ditahan oleh petugas pemadam kebakaran. Walaupun begitu, beliau berputar ke halaman sekolah, melompat pagar, dan berlari masuk ke gedung barat yang terbakar. Ada yang melihatnya, tapi itu saja.”

                “Paginya, diketahui bahwa wakil kepala sekolah tidak ada. Orang-orang memperkirakan  bahwa beliau tewas tertelan api. Pada malam terjadinya kebakaran, kepala sekolah sedang bertugas di provinsi lain. Jadi pada hari itu, wakilnyalah yang bertanggung jawab penuh. Beliau memang orang yang bertanggung jawab penuh.”
                “Nah, beberapa hari setelah kejadian itu, pada suatu malam kepal sekolah bermimpi. Dalam mimpinya, arwah wakil kepala sekolah datang untuk meminta maaf. Datang dengan piyamanya, piyama yang basah kuyub yang masih menetes-netes. Kepala sekolah segera terbangun. Beliau tak menganggap bahwa ini hanya mimpi, dan terus memikirkan piyama yang basah itu.”
                “Begitu pagi tiba, beliau segera datang ke tempat kebakaran dan melongok ke dalam sumur tua yang ada di tepi gedung barat. Benar saja! Mungkin bunuh diri karena rasa tanggung jawab.”
                “Setelah itu, sumur ditutup, dan orang pun sudah melupakan peristiwa kebakaran dan kematian wakil kepala sekolah. Lokasi pembangunan sekarang adalah tempat sumur itu dulu. Mungkin kutukan itu….”
                “Bukankah sejak dulu sumur dianggap sebagai penghubung antara dunia kita dan dunia sana…? Waktu sumur itu ditimbun dan dijadikan sebagai bagian dari halaman sekolah, arwahnya masih bisa bersabar. Tapi jika di atasnya  dibangun segung sekolah baru, dia tak bisa terima. Mungkin karena itulah, terjadi berbagai bencana. Saya piker, paling tidak kita harus memanggil pendeta untuk melaksanakan upacara berkabung bagi arwahnya.”
                “Tak pernah terpikir sampai ke situ.”

                Pemimpin Kontraktor segera melaksanakan pembacaan doa di bekas sumur tua sesuai anjuran Pak Kudo. Mungkin arwah wakil kepala sekolah merasa terhibur, sehingga setelah itu pembangunan dapat berjalan dengan lancar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar