♥ DuniaRihma ♥

♥ DuniaRihma ♥
♥ DuniaRihma ♥

Kamis, 07 April 2011

Jumlahnya Kurang


Oleh, Noboru Hagisaka

                Tahun 1943, di sebuah sekolah rakyat (sekarang SD) desa nelayan di prefektur Kochi. Pak Yamada mendapat tugas jaga malam.
                Pada jam 10 malam, saat beliau melintasi koridor, tampak olehnya sosok seseorang mondar-mandir di beranda. Sosok itu kira-kira sebesar anak SMP.
                Anak itu berjalan ke seberang koridor. Mungkin ada yang tertinggal, piker Pak Yamada. Tetapi mengapa tidak bilang lebih dahulu? Sepertinya bukan murid sekolah ini. Jangan-jangan dia pencuri!?
                Dengan pedang kayunya, pak guru mengikuti bayangan itu. Tetapi tidak ada siapa pun. Mungkin perasaannya saja, pikirnya, lalu kembali ke ruang jaga dan berbaring di kasurnya. Namun beliau tidak bisa tertidur juga.

                Tik-tik-tik, bunyi jam menunjukan waktu. Teng-teng, pukul 2.
                Saat beliau mulai terkantuk-kantuk, terdengar bunyi langkah kaki orang menaiki tangga. Benar saja, bayangan orang tadi memang ada, pikirnya.
                Ditajamkannya telinganya. Tak lama kemudian terdengar bunyi lagi bunyi langkah kaki menuruni tangga. Terdengar juga suara orang menghitung anak tangga, “satu, dua, tiga…”
                “Cuma 13 …. Kurang satu. Jika begini, tak bisa sampai tujuan, Hitung sekali lagi..” keluh suara itu.
                “Apa?Tiga belas?Di tangga itu ada 14 anak tangga, kata pak guru dalam hati. Beliau yakin, karena pernah memanfaatkan anak tangga itu dalam pelajaran berhitung.

                Bunyi langkah kaki naik turun tangga tersebut terus berlangsung.
                Pak Yamada menghimpun segenap keberaniannya. Dengan pedang kayu di tangannya beliau keluar dari ruang jaga menuju ke tangga. Tetapi, tidak ada siapa pun. Ah, hanya perasaan saja. Walaupun begitu, malam ini memang seram.  Biarlah aku tidur saja, begitu piker beliau.

                Pak guru kembali ke ruang jaga dan menarik selimutnya. Namun, lagi-lagi, “kurang satu. Jika begini, tak bisa sampai ke tujuan…,” terdengar keluhan yang memelas.
                Karena ketakutan Pak Yamada segera melompat keluar dari kamarnya dan berlari ke tempat pesuruh sekolah yang tinggal di dekat situ.
                “Tengah malam begini, saya kira siapa, Pak Yamada, ya? Apakah terjadi sesuatu di sekolah?”
                “Ada…ada…setan!! Ada setang di tangga.” Itu saja yang dapat dikatakannya, lalu di teguknya air di tempat cuci piring.

                Kemudian, bapak pesuruh itu mulai bercerita. “Sebelum saya bekerja di sekolah ini, ada seorang murid SMP yang gantung diri di tangga itu.Anak itu lulusan sekolah ini. Dia suka belajar, dan oleh wali kelasnya disarankan mengikuti ujian masuk SMP. Dia Berhasil. Lalu dia bersekolah sambil bekerja sebagai pengantar Koran atau sebagai pembantu nelayan…”

                “Di SMP itu terjadi kasus pencurian dan anak itu menjadi tersangka. Padahal dia tak membuat kesalahan apa pun. Dia ingin setidaknya guru SD-nya itu saja yang akan mempercayainya. Karena itu dia mendatangi gurunya itu ketika beliau sedang bertugas jaga malam.”
                “Tetapi, pada hari sebelumnya guru itu mendapat panggilan tugas militer sehingga harus meninggalkan sekolah. Beda 1 hari saja….”
                “Karena putus asa tak bisa bertemu lagi dengan gurunya, anak itu gantung diri. Di anak tangga ke-14 itu…”

                Keesokan paginya, Pak Yamada menceritakan tentang suara keluhan yang didengarnya dari tangga kepada kepala sekolah. Kata kepala sekolah, “saya tak tahu tentang hal itu. Pasti tak pernah diadakan pembacaan doa. Karenanya, dia tak bisa mati dengan tenang. Karena ingin ada yang memahaminya, dia muncul lagi sebagai hantu.”
                Beliau memanggil pendeta untuk membacakan doa di tangga. Lalu di tangga itu diletakkan bunga. Sejak saat itu, kasus ini pun selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar