♥ DuniaRihma ♥

♥ DuniaRihma ♥
♥ DuniaRihma ♥

Kamis, 07 April 2011

"duniarihma.blogspot.com"

WELCOME TO MY BLOG !!!
 hayhayhay para pecinta blog yang baik hati dan tidak sombong
kenalin nih Blog baru aku! disini kalian bisa baca2 tentang apa yang aku share ke semua Blogger di seluruh dunia!
moto aku untuk temen2 yang ngunjungin Blog aku

'Enjoy My Blog'

at : http://www.duniarihma.blogspot.com :)

See Yaaa! :D

Festival Tanabata

Oleh, Shoko Mochizuki

                Miyuki yang ingin menjadi murid sekolah musik bersahabat akrab dengan Taeko yang dikenalnya saat ujian masuk perguruan tinggi. Keduanya tampak ceria mengelilingi kampus. Sekolah ini terletak di sebuah bukit kecil yang diselimuti oleh hijaunya hutan dan rerumputan.

                Di antara pepohonan terdapat sebuah gedung sekolah modern bertegel, aula, asrama siswa, dan sebagainya. Dan seperti sekolah musik pada umumnya, di sana-sini terdapat patung Bach, Mozart, dan yang lainnya.

                “Keren…! Bagaikan di taman saja!”
                “Benar, kebun cemara ini, seperti di film asing.”
                Namun, ada yang agak anek. Pada lingkungan bersuasana barat itu ada lentera-lentera batu.
                “Eh, itu salah nggak sih?”
                “Iya, memang aneh. Di sampan Bach ada lentera batu…”
                “pati ada sebabnya.”
                Tak lama kemudian, dari cerita para senior, mereka tahu penyebabnya.
                Begini ceritanya.

                Ketika perang Pasifik hampir berakhir, serangan udara tentara Amerika terjadi di daratan Jepang, terutama kota besar seperti Tokyo, yang tiap hari dijatuhi bom sehingga banyak yang meninggal.
                Karenanya, anak-anak SD yang sudah besar, dipindahkan ke balai rakyat atau kuil desa, hidup terpisah dengan keluarga, untuk menghindari serangan udara. Mereka disebut kelompok Evakuasi.
                Di sekitar sini yang dekat dengan Tokyo pun banyak anak-anak dari kelompok evakuasi. Walaupun begitu, tempat yang seharusnya terhindar dari serangan udara ini yang dijatuhi bom.
                Hidup dalam kesepian membuat mereka dekat satu sama lain. Bahkan ada yang tewas dalam keadaan saling berpelukan. Dengan sekali serangan saja, banyak orang dewasa yang tewas. Ada juga anak-anak yang menjadi mayat tanpa diketahui identitasnya.
                Karena itu, ketika ibu mereka datang untuk mencari anaknya yang sudah meninggal, di antara mereka ada yang tak tahu yang mana anaknya. Selain itu banyak anak-anak yang jadi sebatang kara karena seluruh keluarganya tewas.
                Di antara anak-anak yang tewas itu, ada juga anak yang tak di ambil oleh keluarganya karena seluruh keluarganya pun telah tewas akibat serangan udara di Tokyo.
                Setelah lama berlalu, didirikan sekolah di bekas tempat tewasnya anak-anak itu. Ketika tanahnya digali, ditemukan kerangka-kerangka mereka.
                Karena itulah maka dipasang lentera dan dibacakan doa di tempat-tempat kerangka itu ditemukan.

                “Tapi, sekarang pun, kalau tengah malam ketika kita ke kamar mandi asrama, ada anak yang berlumuran darah di situ.”
                “Saat itu, semuanya kurus karena tak ada makanan. Bukan hanya karena serangan udara, banyak juga yang meninggal karena sakit.”
                “Kasihan sekali mereka…”
                Kadang-kadang, Miyuki dan yang lainnya merasa pilu melihat lentera-lentera itu.

                Kemudian, tibalah saat perayaan Festival Tanabata.
                Hari itu, di kebun belakang gedung utama berderet warung-warung yang dibuka oleh para siwa. Orang-orang yang tinggal di kota juga berdatangan.
                Saat orchestra dan paduan suara diperdengarkan, tampak makin banyak sosok anak-anak yang bertempat tinggal di dekat situ.
                Ketika senja mulai tiba, suara penjual memanggil pembeli terdengar makin kuat.
                Miyuki yang bertugas menjual es permen seharga 50 yen per batang di bawah pohon cemara.

                Namun, saat tarian bon odori , tarian yang dilakukan saat festival musim panas, akan dimulai, dia sudah merasa lelah karena tak biasa mengenakan Yukata , kimono musim panas, dan geta ,sandal khas Jepang mirip bakiak.
                “Menarinya nanti saja. Aku mau istirahat dulu.” Miyuki duduk di kursi dan melepas geta nya.
                “Aku juga mau istirahat”, kata Taeko yang menjual topeng.
                Miyuki, yang memainkan geta-nya mengikuti bon odori, tiba-tiba menoleh ke belakang karena merasa ada orang di belakangnya.
                Seorang anak perempuan kira-kira kelas 3 SD tampak sedang memperhatikan kotak esnya.
                “Eh, mau ini ya? Satu 50 yen!” kata Miyuki. Tetapi anak itu malah lari menjauh.
                “Anak tadi aneh, ya!” bisik Taeko.
                “Iya, ya!”
                Mereka mendatangi arah larinya anak itu. Di sana-sini tampak anak-anak dengan potongan rambut yang sama.
                “Eh, lihat! Semuanya pakai celana dan rok yang agak lain. Geta-nya juga lusuh. kamu merasa aneh nggak, sih?”
                “Iya, ada banyak anak-anak, tapi mereka saja yang kurus. Kelihatan ada yang berbeda. Mereka datang dari mana, ya?”
                “Di sana juga ada. Eh, anak laki-laki…?”
                “Betul. Ah, anak itu, terluka!”
                Jika diperhatikan, samar-samar tampak beberapa orang anak di sekeliling lentera batu.
                “Heh, di sana juga!”
                Anak-anak di hutan, yang mereka temukan itu, tiba-tiba lenyap dari pandangan.
                “Lho, anak-anak itu…?”
                Anak-anak di lapangan, yang tampak aneh tadi, juga menghilang.
                “Anak-anak itu…”
                “Yang tewas karena serangan udara..!!”
                Mereka berdua hanya mampu berdiri terpaku.

Sumur Tua

Oleh, Masao kogure
                Cerita ini terjadi di sekolah dasar K di provinsi Saitama terletak kira-kira 40 menit perjalan kereta dari Tokyo.
                Peristiwa serupa terjadi di tempat-tempat yang letaknya 30-40 menit dari pusat kota. Begitu juga di kota S, yang dalam beberapa tahun belakangan ini penduduknya terus bertambah. Penduduk yang semula berkisar 70.000 jiwa, sekarang membengkak menjadi 130.000 jiwa.

                Seiring dengan pesatnya pertambahan penduduk, timbul masalah di sana-sini. Salah satunya adalah kekurangan kelas di SD dan SMP.
                Di SD K di kota S pun dibangun gedung baru di samping gedung yang lama.
                Pembangunannya diserahkan kepada Kontraktor U yang sudah punya nama, tetapi entah mengapa, secara beruntun banyak yang mendapat luka. Ada pekerja yang jatuh dari tangga, ada yang jarinya hancur terjepit mesin, ada yang nyaris buta karena matanya terkena ujung pahat yang terjatuh, ada yang tersangkut kabel pengangkut beton, dan berbagai kecelakaan terjadi secara terus-menerus.

                Karena banyaknya kecelakaan yang terjadi dalam waktu singkat, pemborong diberi peringatan oleh dinas pengawasan kota sekalipun mereka telah mengikuti asuransi tenaga kerja. Namun tak dapat dibiarkan begitu saja, karena hal ini sangat berhubungan dengan kepercayaan kerja.

                “Walau hanya penambahan kelas, untuk memulai pembangunan, diadakan upacara pembersihan tanah. Tetapi, ini sepertinya ada kutukan….”
                Pimpinan Kontraktor merasa bahwa ada penyebab bencana di lokasi itu. Kepada para pekerja dia bertanya apakah ada di antara mereka yang lulusan sekolah itu. Jika ada, apakah orang itu ingat sesuatu yang dapat dianggap sebagai penyebab bencana.
                Pak Kudo, seorang pekerja berusia 50-an yang bertugas memasang kusen dan kaca, kemudian bercerita,

                “Kalaupun sekarang ini ada kutukan, pastilah yang itu. Saya lulusan tahun 1954. Sesaat sebelum upacara kelulusan, gedung sekolah musnah dilalap api yang berasal dari ruang makan, tepat saat bertiupnya angin kencang.”
                “Yang Bapak maksud?”
                “Yang saya ingat, hanya itu. Belakangan ada macam-macam cerita, tapi yang pasti, wakil kepala sekolah memang meninggal.”
                “Malam itu, untuk menahan dingin, guru yang bertugas jaga malam terus berada di ruang jaga. Akibatnya, dia terlambat menyadari terjadinya kebakaran.”
                “Guru itu berhasil menyelamatkan diri dan hanya menderita luka bakar ringan. Yang disesalkan adalah wakil kepala sekolah. Rumahnya kira-kira 1 km dari sekolah, beliau segera datang dengan bersepeda tanpa mengganti piyamanya. Tapi sekolah sudah jadi lautan api. Sekalipun begitu, beliau tetap bermaksud terjun ke dalam kobaran api untuk menyelamatkan berkas-berkas di ruang kepala sekolah. Namun beliau ditahan oleh petugas pemadam kebakaran. Walaupun begitu, beliau berputar ke halaman sekolah, melompat pagar, dan berlari masuk ke gedung barat yang terbakar. Ada yang melihatnya, tapi itu saja.”

                “Paginya, diketahui bahwa wakil kepala sekolah tidak ada. Orang-orang memperkirakan  bahwa beliau tewas tertelan api. Pada malam terjadinya kebakaran, kepala sekolah sedang bertugas di provinsi lain. Jadi pada hari itu, wakilnyalah yang bertanggung jawab penuh. Beliau memang orang yang bertanggung jawab penuh.”
                “Nah, beberapa hari setelah kejadian itu, pada suatu malam kepal sekolah bermimpi. Dalam mimpinya, arwah wakil kepala sekolah datang untuk meminta maaf. Datang dengan piyamanya, piyama yang basah kuyub yang masih menetes-netes. Kepala sekolah segera terbangun. Beliau tak menganggap bahwa ini hanya mimpi, dan terus memikirkan piyama yang basah itu.”
                “Begitu pagi tiba, beliau segera datang ke tempat kebakaran dan melongok ke dalam sumur tua yang ada di tepi gedung barat. Benar saja! Mungkin bunuh diri karena rasa tanggung jawab.”
                “Setelah itu, sumur ditutup, dan orang pun sudah melupakan peristiwa kebakaran dan kematian wakil kepala sekolah. Lokasi pembangunan sekarang adalah tempat sumur itu dulu. Mungkin kutukan itu….”
                “Bukankah sejak dulu sumur dianggap sebagai penghubung antara dunia kita dan dunia sana…? Waktu sumur itu ditimbun dan dijadikan sebagai bagian dari halaman sekolah, arwahnya masih bisa bersabar. Tapi jika di atasnya  dibangun segung sekolah baru, dia tak bisa terima. Mungkin karena itulah, terjadi berbagai bencana. Saya piker, paling tidak kita harus memanggil pendeta untuk melaksanakan upacara berkabung bagi arwahnya.”
                “Tak pernah terpikir sampai ke situ.”

                Pemimpin Kontraktor segera melaksanakan pembacaan doa di bekas sumur tua sesuai anjuran Pak Kudo. Mungkin arwah wakil kepala sekolah merasa terhibur, sehingga setelah itu pembangunan dapat berjalan dengan lancar.

Rumah Kucing


Oleh, Hiroshi Nakamura

                Waktu siang, suasana di sekolah hiruk pikuk, penuh dengan teriakan anak-anak, bunyi alat musik dan lagu dari ruang musik, dan hiruk pikuk di lapangan olahraga dan sebagainya.
                Sebaliknya, bila anak-anak sudah pulang, sekolah mendadak menjadi sepi, dan bila malam tiba, tak ada bunyi apapun di gedung yang besar itu. Pernahkah kalian di sekolah pada saat seperti itu? Cukup menakutkan. Ada bunyi sedikit saja, bulu kuduk langsung merinding. Kita akan berpikir, apakah itu pencuri?

                Jika kita membaca Koran-koran zaman dahulu, ada berita yang memuat cerita tentang keberanian guru yang sedang jaga malam menangkap pencuri yang menyusup ke sekolah. Sekolah sekarang tidak begitu lagi. Sekarang, guru tak perlu lagi bermalam di sekolah, kalau pun ada, kepala sekolah akan berpesan,
                “Kalau terjadi sesuatu, lari saja! Nyawa lebih penting. Lagipula, pencuri-pencuri sekarang lebih jahat….”

                Dulu, sekolah adalah bangunan kayu tua. Jadi, kalau ada angin, kertas-kertas di atas meja di ruang guru akan bertebaran. Dan bila malam tiba, tikus-tikus mengerat di atas loteng, menimbulkan bunyi-bunyi yang tak terdengar pada siang hari.

                Nah, di sudut halaman sekolah ini, ada pohon keyaki dan pohon kusunoki besar yang tumbuh entah sejak kapan. Di sekitar situ, siang hari pun tampak suram. Di sebelah barat ada pohon sugu Himalaya yang tinggi, dan di sekeliling halaman ada pohon-pohon kecil yang ditanam oleh lulusan sekolah ini.
                Pada tahun 1940 terjadi peristiwa aneh di ruang jaga yang terletak di bawah kerimbunan pohon keyaki ini.

                Saat itu saya bermalam di sekolah karena mendapat tugas jaga.
                Tengah malam, suara-suara yang tak terdengar pada siang hari, seperti perkutut, akan terdengar di ruang jaga yang sepi. Saya terbangun mendengar suara yang memilukan itu dan tak dapat memejamkan mata kembali. Juga terdengar bunyi kepakan sayap. Mungkin ada burung gagak yang membuat sarang di atas pohon sugi.

                Lalu, entah darimana asalnya, terdengar suara kucing mengeong-ngeong. Saya berpikir, apakah ada kucing-kucing buangan di sekitar sekolah ini?  Suara itu bukan hanya berasal dari satu atau dua ekor kucing, dan makin lama terdengar makin bertambah, “meong, meong…, meong…,meong…”

                Karena sangat ribut, saya ingin mengusirnya. Dengan sekuat tenaga, saya siramkan seember air dari jendela ruang jaga kea rah datang nya suara itu. Tenang sejenak, lalu terdengar lagi suara yang lebih gaduh daripada sebelumnya.

                Tiba-tiba, saya jadi takut mendengar suara-suara itu. Jika saya berbuat lebih jauh lagi, jangan-jangan mereka pun akan melakukan sesuatu terhadap saya. Karenanya, saya menarik selimut dan diam tak bergeming.

                Paginya, saya lihat tempat yang saya siram semalam. Ada sebuah batu nisan tua di balik pohon keyaki besar yang berbatasan dengan sekolah Putri di sebelah. Di situ tertulis, “Bukit Kucing”.

                Ketika saya ceritakan hal ini di ruang guru, seorang guru yang telah lama mengajar di sekolah ini bercerita kepada saya.
                “Dulu, di sini ada sebuah rumah tuan tanah. Di rumah itu ada seekor kucing yang sangat disayangi oleh putri tuan tanah. Kucing itu menjadi besar, dan memangsa setiap orang yang mengganggu tuan putri, bagaikan kucing jadi-jadian. Akhirnya kucing itu dibunuh dan tempatnya dikubur disebut “Bukit Kucing”. Ketika sekolah ini dibangun, Bukit Kucing itu hampir dipindahkan, tetapi karena ada kutukan yang menyebabkan pekerja menjadi sakit atau luka, Bukit kucing itu dibiarkan begitu saja. Tengah malam, kucing-kucing dari sekitar sekolah ini berkumpul mengelilinginya, bukan?”

                Cepat-cepat saya pergi ke Bukit Kucing dan mengatupkan kedua tangan saya. Di sekeliling batu nisan tua di bawah pohon besar yang sangat lebat tampak begitu banyak jejak telapak
kaki kucing.

Kembalikan!


Oleh, Shinzaburo Mochizuki

                Tempat olahraga di sekolah ku menghadap kearah utara dan menikung lebar berbentuk busur. Dulu disini ada sungai yang bernama sungai Tenbin, dan lapangan ini pun dibuat mengikuti alirannya. Menurut cerita orang tua yang telah lama tinggal disin, dulu aliran sungai ini sangat cepat. Jika Banjir, jembatannya terbawa arus. Karenanya, ada juga orang yang menyebutnya sungan Tenbin sebagai sungai tanpa jembatan.

                Di perbatasan sungai Tenbin dan lapangan olahraga terdapat sebuah kuil kecil. Pada suatu hari hujan, guru olahraga, Pak Okawa bercerita kepada kami.
                “Hari ini, cerita seram, ya! Dulu, beberapa waktu setelah dibangunnya sekolah ini, kira-kira 70 tahun yang lalu, pada saat pembuatan lapangan olahraga, 2 orang pekerja menemukan sebuah kuil kecil.”
                “Kuil kecil, yang ada di halaman sekolah?”
                “Betul, kuil kecil itu. Mereka menggali kuil itu dan menggulingkannya ke tepi sungai.”
                Penanggung jawab pembangunan itu, Pak M, malam harinya, ketika sedang tidur di rumahnya, dadanya terasa sangat sesak . Dia mengigau lalu terbangun. Dia tak bisa tidur lagi, dan ketika menoleh ke sudut kamar, dia sangat terkejut. Seorang nenek dengan rambut putih terjuntai, duduk di situ dengan mata penuh kebencian. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuh pak M, yang gemetar. Tentu saja, suaranya pun tak bisa keluar. Kemudian, dengan suara parau nenek itu, berkata,

                “Aku, digulingkan ke tepi sungai Tenbin. Cepat, kembalikan aku ke tempat semula! Kembalikan aku ke tempat semula!”
                “Pak M. tak ingin mengingat lagi mata yang penuh kebencian dan suara yang mengerikan itu. Namun, ia tak bisa tidur sekejap pun. Begitu fajar menjelang, tanpa makan terlebih dahulu, dia bergegas ke tempat pembangunan sekolah yang masij tertutup kabut.”
                “Tempat pembangunan lapangan olahraga?”
                “Ya, di tepinya. Di sungai Tenbin terguling sebuah kuil kecil.”
                “Oh, jadi yang diminta dikembalikan ke tempat semula adalah kuil itu?”
                “Ya, betul. Tetapi, dimana tempatnya semula? Pada apel pagi, Pak M menanyakan siapa yang menggali kuil itu. Namu tak ada jawaban. Lalu, ditanyanya lebih jauh lagi. Ternyata, 2 orang yang mengerjakan lapangan olahraga. Hari itu tidak hadir. Mereka adalah pegawai teladan yang tak pernah absen sehari pun. Pak M sangat khawatir.”

                “Dia sangat terkejut ketika mampir ke pondokan mereka saat istirahat siang. Muka mereka sangat merah, kepala terkulai di atas bantal air, dahi dikompres dengan es, dan terdengar suara mengaduh. Kemarin mereka tiba-tiba terserang demam tinggi dan tak bisa bangun.”
                “Dari kedua orang yang sulit berbicara ini, akhirnya Pak M mengetahui di mana temoat asal kuil kecil itu. Kemudian, dikembalikannya, dan dipanggilnya pendeta untuk melakukan penyucian. Ajaib, panas mereka langsung turun.”
                “Belakangan diketahui bahwa kepala sekolah pun juga melihat sosok nenek itu dalam mimpi buruknya.”

                “Nah, tentang kuil ini, dulu jembatan sungai Tenbin selalu hanyut, sampai-sampai disebut sebagai sungai tanpa jembatan. Agar tak hanyut lagi, diperlukan tiang manusia. Kalian tahu ‘kan apa itu tiang manusia? Manusia yang dikubur hidup-hidup saat pembuatan jembatan. Mereka percaya, dengan begitu jembatan akan kuat.”
                “Uh, sadis!”
                “Ya, betul. Nenek itu dipilih sebagai tiang manusia. Nenek yang tak punya sanak saudara, yang sering hidup di bawah jembatan. Kuil kecil itu, dibuat untuk arwah nenek yang dijadikan tiang manusia itu.”

                Dengan tenang, kami menatap kuil kecil di sudut halaman sekolah yang disiram hujan.

Tempat Terkutuk


Oleh, Isamu Shibuya

                Di suatu daerah di Tokyo, kira-kira 15-16 tahun yang lalu di bangun sebuah SD di tengah rumpun pepohonan hijau. Di bagian selatan halaman sekolah ini terdapat sebuah rumah besar beratap jerami yang sudah miring.

                Saat mendengar adanya pembangunan sekolah, pemilik rumah itu menjual rumahnya kepada Pemda. Sejak saat itu, tak ada lagi yang menempatinya. Pihak Pemda berencana menjadikannya sebagai lapangan olahraga sekolah.

                Tetapi entah mengapa, rumah itu tidak dirobohkan, hanya diterpa angin dan hujan.
                Anak-anak menyebutnya sebagai “rumah terkutuk”. Mereka tak berani mendekat ke lapangan di sampingnya.

                Pada pertandingan olahraga, di halaman sekolah ditarik garis putih, dan berdasarkan tingkatan kelas, mereka dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu merah, putih, biru, dan kuning.
                Kelompok yang memunggungi rumah terkutuk ini selalu tertinggal, bahkan sangat sial.
                Seorang wartawan menanyakan hal ini kepada nenek-nenek disekitar situ.
                “Ya…., jauh sebelum saya lahir, dulu…. Sekali, wanita yang tinggal di rumah itu, menyiksa nenek mertuanya sampai mati. Tak diberi makan, di tengah musim dingin, disiramnya dengan air, dipukulnya dengan bambu…”
                “tengah malam, terdengar tangisan nenek itu, “tolong, tolong!” Saya pun pernah beberapa kali pernah mendengarnya.”
                Mereka menceritakannya sambil merengutkan alis sepertinya hal itu terjadi pada diri mereka sendiri.

                Saat pembangunan sekolah, dikerahkan mesin-mesin penghancur seperti bulldozer, untuk merobohkan rumah itu, tetapi mesin-mesin itu selalu rusak, pengemudinya terluka tanpa sebab, sehingga pengerjaan pun jadi terhenti.
                Hal seperti itu terjadi berulang-ulang.
                “Jika rumah itu dirobohkan, akan terjadi kutukan.”
                “Bisa kena dendam nenek yang dibunuh itu.”
                Mendengarnya, tak ada lagi yang berani meneruskan pekerjaannya.
                Akhirnya, petugas dari balai kota pun memutuskan, “Biarkan saja rumah itu roboh dengan sendirinya.”

                Sampai sekarang pun, jika kita lewat di sampingnya pada tengah malam saat hujan gerimis, terdengar suara tangis nenek itu, “tolong…,tolong…!”

Cemara Yang Memanggil-Manggil


Oleh, Shinzaburo Mochizuki

                Di tengah kota A ada taman. Sebelum dijadikan taman, tempat ini adalah tempat yang sepi di mana hanya terdapat sebuah pabrik pemintalan. Pada masa itu, para pekerja umumnya adalah wanita-wanita muda yang berasal dari desa petani. Mereka bekerja sebelum matahari terbit sampai jauh malam tanpa beristirahat. Pekerjaan mereka sangat berat.

                Karena tak tahan, ada yang melarikan diri. Maka pabrik pun membuat pagar tinggi yang dikelilingi parit. Walaupun begitu, masih ada juga yang melarikan diri dengan cara melompati pagar dan berenang di parit.
                Di tepi luar parit itu ada sebatang pohon cemara besar yang dahannya membentang ke samping.

                Suatu kali, ada seorang pelarian pabrik yang menggantung diri di dahan cemara ini. Sejak itu, terus-menerus ada yang gantung diri di situ.
                “Ah, cemara itu yang memanggil.”
                “Ya, dahannya itu, memanggil-manggil.”
                Pada malam hari, tak ada yang berani berjalan di sana sendiri.
                Waktu berlalu, pohon cemara ini ditebang, taman dan lapangan pun dibangun.
                Sejak didirikannya SD di sampingnya, lapangn taman ini sering digunakan sebagai tempat latihan olahraga.
                Daripada berlari di halaman sekolah yang sempit, murid-murid kelas V dan VI dengan leluasa dapat berlatih lari 400 m atau marathon di lapangan ini.
                Akan tetapi, sering ada murid yang terluka ketika sedang berlatih. Umumnya mereka mengalami  memar di kepala, muka, dan dada.
                Murid-murid yang di rawat di ruang P3K sekolah selalu mengatakan bahwa mendadak muncul pohon cemara dan mereka tak dapat mengelak.
                “Eh, di lapangan itu ada pohong cemara, lho!”
                “waktu sedang berlari, tiba-tiba ada di depan mata. Mau mengelak, tak sempat lagi.”
                “Dahannya yang sebesar ini memanggil-manggil. Saat kita menyadari, timbul bunga api di mata dan langsung terjungkir.”
                “Waktu Masako jatuh, terdengar bunyi sesuatu.”

                Karena banyaknya kecelakaan yang terjadi di lapangan itu, para guru pun merasa tidak enak. Mereka mengadakan rapat darurat. Yang menjadi topic pembicaraan adalah pohon cemara yang memanggil-manggil yang dulu tumbuh di tempat berdirinya pabrik pemerintah.
                “Yang paling penting adalah, jangan ada lagi yang terluka.”
                “Mari kita adakan selamatan!”
                Akhirnya diputuskan unutk mengadakan selamatan dan memanggil para pendeta untuk membacakan doa.
                Tak dapat dipercaya, sejak saat itu tak pernah terjadi apa-apa lagi.