♥ DuniaRihma ♥

♥ DuniaRihma ♥
♥ DuniaRihma ♥

Kamis, 07 April 2011

Tangan Tengkorak

Oleh, Kyoko Iwasaki

Dua bulan sekali ada giliran membersihkan ruang laboratorium IPA.
                “Uh, menyebalkan! Kato, kamu nggak apa-apa? Aku nggak suka bau obat atau bau alkohol di ruang laboratorium IPA,” kata Fukagawa sambil merengut.
                “Aku jijik dengan kodok dan ikannya. Ih!!”
                “kamu lihat bagan itu? Ada gambar darahnya! Zombie!!”
                “itu ‘kan kerangka yang dimasukkan dalam lemari kaca. Apaan, sih? Itu ‘kan diberi gorden supaya tidak kelihatan. Motifnya bunga.”
                “Kerangka? Habis telanjang, sih jadi nggak enak, coba kalau diberi pakaian.”
                “Eh, Kato, memangnya kamu berani memberi pakaian pada kerangka itu?”
                Fukagawa memandang mukaku dengan pandangan mengejek. Ehm, pasti kamu nggak berani, begitu pikirnya.
                “Eh, ada juga, lho orang yang suka kerangka. Bagaimana kalau kita minta tolong padanya.”
                “Apa!? Siapa?”
                “ketua kelompok kita, Shirakawa! Dia suka segala sesuatu yang mengerikan.”
                “Ehm, tapi apakah shirakawa mau mengambil alih tugas kita. Kupikir anak laki-laki tidak akan mau.”
                “Betul juga. Sekalipun kita minta, Shirakawa pasti takut melakukannya.”
                “Aduuuh, sebel, deh!”
                Waktu sampai di ruang laboratorium IPA, anak-anak lain sudah mulai membersihkannya.
                “Kok, lama sekali, sih?”
                Kami dipelototi oleh anak laki-laki. Apa boleh buat. Aku menggerakan sapu. Tiba-tiba diujung sapu ada yang bersinar terguling jatuh.
                “Ya, ampun ini ‘kan lampu spiritus!”

                Selesai dikumpulkan, lampu tersebut menggelinding lagi. Kali ini masuk ke bawah kursi laboratorium. Sekalipun sudah disodok dengan sapu, tetap tidak mau keluar.
                “Apa-apaan ini?Kalian lakukan itu lagi, dasar pemalas!”
                “Bukan begitu! Lampu spiritusnya masuk ke bawah kursi.”
                “nanti akan tertutup kalau ada kelas yang menggunakannya”
                “Kalau begitu, kita gerakan kursinya. Hei, hei, semuanya kesini! Bantu, dong!”

                Ternyata begitu kami geser, dibawah tidak ada tutupnya. Di lantai papan terdapat celah. Pasti lampu tadi menggelinding ke dalamnya.
                “Hah!? Lantainya dipotong segi empat. Bukankankah ini lantai yang bisa dibuka? Lihat, yang ini bisa dilepas.”
                “Coba buka!”
                Hiiiiii… begitu dibuka, tampak tangga menuju ke bawah.
                “Apa ini?”
                “Ruang bawah tanah! Itu lubang perlindungan di waktu perang. Kakekku lulusan sekolah ini, dan katanya waktu perang dulu, sekolah ini dulu dijadikan markas tentara.”
                “Hei, lihat! Itu tutup senternya! Tersangkut di antara tangga!”
                “Benar! Tapi tanganku nggak sampai, siapa yang mau mengambil?”
                “Apa? Hei, Kato, sana ambil! Kamu harus bertanggung jawab, karena kamu yang menjatuhkannya!”
                Aku merasa ngeri. Tercium bau jamur karena tempat itu selalu tertutup. Aku benar-benar tidak berani turun,
                “dasar pengecut! Aku saja! Ayo periksa sampai ke sudutnya! Mana Senternya! Oke?”
                Shirakawa melemparkan pandangan kea ran anak-anak laki-laki. Aku dan Fukagawa merasa tidak tenang. Shirakawa turun. Anak-anak laki-laki mengikutinya dengan riang.
                Mereka menimbulkan suara gaduh. Cahaya senter tampak semakin ke bawah.
                “Hebat juga mereka.”
                “Iya…ya!”
                Baru saja kami saling berpandangan, “Huuuuuuaaa!” terdengar jeritan dari bawah. Bersamaan dengan itu, semua berlari ke atas.
                “Tu… Tulang…! Ada tengkorak!” Muka mereka pucat. Dengan mendorong kami yang sedang termangu-mangu disitu, mereka melompat keluar dari ruang laboratorium IPA.
                Shirakawa naik paling akhir. “ada tengkorak di bawah!” katanya. Dia menggenggam tangan tengkorak.
                “Hiiiiiiiiiii!” Aku terduduk. Fukagawa memegang meja sehingga tak terjatuh.
                “Eh, tulang itu, ada bajunya. Itu ‘kan tengkorak contoh? Kamu mau menakut-nakuti ya?”, kata Fukagawa.
                “Begitukah…..? Tetapi aneh juga. Seharusnya mereka tahu, tetapi kenapa mereka lari tunggang langgang dari ruang laboratorium IPA?
                “Mulanya memang mau menakut-nakuti, tapi ternyata ada tengkorak sungguhan.” Wajah Shirakawa pucat.
                “Hiiiiiiiiiiiii!” Aku memeluk Fukagawa.

                Mungkin itu adalah tentara waktu perang dulu, mungkin juga ruang IPA ini memang dibangun di bekas keburan… Tapi, tulang siapakah itu? Tidak ada yang tahu.
                Kemudian, tengkorak-tengkorak itu dimakamkan dengan baik, dan ruang bawah tanah itu ditimbun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar