♥ DuniaRihma ♥

♥ DuniaRihma ♥
♥ DuniaRihma ♥

Jumat, 04 Januari 2013

Krek, Kre...

Oleh, Isamu Shibuya

Sekolah Dasar itu terletak di atas bukit di pinggir kota. Di belakangnya terdapat sebuah hutan cedar, hasil reboisasi puluhan tahun yang lalu. Pada bulan April, datang seorang guru muda yang baru lulus ke sekolah tersebut. Dia mengajar di kelas III. Sampai pertengahan bulan April dia masih belum hafal nama murid-murid di kelasnya.

Hari itu adalah hari pertamanya giliran jaga. Hujan yang turun sejak pagi, membuat hari benar-benar dingin.
"Dulu, kita harus bermalam di kantor saat mendapat giliran jaga dan melakukan ronda beberapa kali di tengah malam. Tapi sekarang hal itu tak perlu lagi karena sudah ada penjaga khusus,"

Begitu kata guru-guru senior. Sekalipun demikian, mereka tetap harus menunggu sampai penjaga datang pada pukul 8.
"Saya duluan...!"
"Terima kasih!"

Pukul 6 sore, satu persatu guru pulang ke rumah masing-masing. Akhirnya tinggalah guru itu seorang diri. Hari telah gelap waktu dia selesai menyantap mie. Sebelum penjaga datang, dia melakukan ronda sekali lagi. Setelah mencuci aalat makannya di dapur, dia memulai ronda dengan membawa senter.
"Oh, ya pedang kayu."

Dia ingat ada sebuah pedang kayu di sudut loker ruang guru. Dengan membawa pedang kayu itu, dia merasa aman. Dengan pedang kau di tangan kanan dan senter di tangan kiri, dia mengambil napas lalu meninggalkan ruang guru itu.
"Krit,krit,...,"

Bunyi sandalnya terdengar aneh di koridor. Tak dapat dipercaya, sekolah yang pada siang hari sangat ramai, sekarang menjadi sunyi senyap.
Krit... krit...
Krit... krit...

Sedikit demi sedikit cahaya dari ruang guru semakin menjauh. Dingin menusuk sampai ke tulang sumsum. Cahaya lampu senter menerangi langkah kakinya yang gontai. Keringat mulai membasahi tangannya yang menggenggam pedang kayu. Kemudia ia memeriksa satu persatu apakah semua pintu dan jendela sudah terkunci.

Mula-mula ruang guru, kemudian kantin, ruang musik, dan ruang khusus di lantai dua. Sesudah itu ruang kelas I sampai kelas III yang terdapat di lantai III. Cahaya senter menerobos ke koridor dan jendela kaca. Beberapa kali langkahnya terhenti karena merasa sepertinya ada orang sedang berjongkok dan timbul bayangan-bayangan tak terduga.

Di luar, hujan masih belum berhenti. Mungkin tiu sebabnya koridor dan kelas terasa lembab dan bau jamur bercampur bau keringat anak-anak. Ronda terakhir adalah di kelas IV sampai dengan kelas VI.
"Satu lagi...,"

Katanya sambil mengehela napas. Kemudian ia melintasi koridor untuk memeriksa lantai 1 kemudian naik ke lantai 2.
"Krit, krit..."
"Krit, krit..."
terdengar langkah kaki orang. Pak guru jadi tersentak dan memasang telinga.
"Krit, krit..."
"Krit, krit..."
Tak salah lagi, ada orang yang sedang naik tangga.
"..."
Tanpa sadar, dia menelan ludah dan menoleh ke belakang. Diarahkannya senternya ke ujung tangga. Tak ada siapa-siapa. Tetapi, begitu naik ke lantai dua, terdengar langkah kaki mengikuti dari belakang. Tubuhnya menjadi kaku dan tenggorokannya kering. Pak guru mengayunkan pedang kayunya dan sengaja mengeraskan suara langkah kakinya. Sebetulnya ada lima ruang kelas utuk kelas lima, tetapi karena sekarang hanya ada empat kelas maka satu ruangan yang ada di ujung tidak digunakan.

Pak guru memasuki ruang kelas satu persatu, lalu memeriksa jendela dengan hati-hati. begitu sampai di depan kelas yang kosong, pak guru bertanya-tanya
"Apakah ini juga harus kuperiksa?"

Sejenak pak guru merasa bimbang. Seharusnya jendela kelas ini tertutup karena tidak digunakan. Sekalipun demikian, pak guru merasa penasaran, dan...
Kret... kret...

Suara pintu dibuka pak guru. Kemudian pak guru melongok ke dalam kelas. Di bagian  belakang kelas, tampak tumpukan bangku. Bau debu menusuk hidung,
"Ah!"

Tanpa sadar pak guru berteriak lirih. Jendela si bagian depan kelas terbuka.
"Si... siapa ini?" kata pak guru mengomel sambil masuk ke dalam kelas untuk menutup jendela.
Kret... kret... terdengar lagi bunyi derit jendela.
"..."

Jantung pak guru berdetak lebih kencang. Keringat dingin mengucur di punggungnya dan tangannya yang memegang pedang kayu menjadi basah oleh keringat. Saat pak guru mengarahkan lampu senternya ke luar jendela yang gelap, tiba-tiba terdengar bunyi keras dari tumpukan meja kursi si bagian belakang kelas.
"Brak!"
"Si... siapa!?"

Tanpa berpikir lagi pak guru melompat dan mengalihkan arah lampu senternya. Seekor kucing hitam melintas di bawah kaki pak guru. Lutut pak guru jadi bergetar. Dengan menahan napas, pak guru berlari ke arah jendela dan mengunci jendela dengan tangan gemetar.
"Krek, krek,..."

Kembali terdengar bunyi derit pintu. Entah karena tipuan angin, entah karena sebab yang lain, bunyi itu terdengar membesar dan mengecil.
"...!"

Tenggorokan pak guru tersekat.
"Huwaaa...!"

Tiba-tiba kepala pak guru terasa kosong lalu beliau jatuh pingsan di tempat itu. Saat tersadar, pak guru sudah berada di rumah sakit. Seorang guru senior yang datang menjenguknya berkata,
"Jadi, betul dia muncul!?"
"Kalau tak salah, di tempat sekolah ini dibangun, dulunya adalah sebuah kuil. Di dekat hutan cedar ini adalah kuburan.... Bahkan sampai sekarang batu-batu nisannya masih ada. Di pintu masuk kuburan, ada sumur tua dengan kerekan. Orang-orang yang berziarah sering mengambil air untuk membasahi batu nisan. Dan nisan yang ada di sini adalah nisan orang-orang yang tak punya sanak saudara dan sudah berumur ratusan tahun. Entah siapa yang usil, pada malam harim saat turun rintik-rintik, terdengar suara kerekan dari sumur tua itu."

Hihhhhh.....

Sambil tertawa pak guru yang sudah hampir pensiun itu menambahkan,
"Tapi, baru Bapak yang pernah bertemu dengan hantu itu"

Katanya sambil menepuk bahu pak guru, kemudian beliau beranjak ke luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar